Linda Novika A.'s profile

Creative Writing for an Introduction Book about Kebaya

Encyclopedia Project: Introduction of Kebaya History in Indonesia
Brief about the project: Vika was one of the two writer assistants for this introduction book project about Kebaya in collaboration with an Illustrator finishing a final task project.
Writing style: Indonesian narrative with old spelling system.
Bellow, I have included several samples of my writings in the project. 
The illustration and book designs are all credited to Gita K. Z.
SEBUAH PESAN PENTING UNTUK PEMBATJA:

Djika kelak kamu menemukan buku ini dari anak saja, maka mungkin saja akan lega dan bersjukur. Bahwa usaha R. A. Kartini jang selalu saja kagumi tidak mati, bagaimana gigih perdjuangannja mengadjak perempuan Indonesia merebut kemerdekaan disaksikan djuga oleh badju kebaja jang menegaskan identitas bangsa. Bagaimana keresahan saja jang tidak ingin budaja dan kebaja mati mampu diteruskan agar kelak tidak ada lagi suara-suara setan masa lalu yang akan menghantui masa depan anak tjutju kita.

Pada era orde baru, saja jang asli keturunan Djawa diharuskan bertransmigrasi ke Sumatra Barat, tepatnja di Padang. Di tengah ketidakmampuan saja untuk mendjahit sebanjak dulu karena menurunnja minat orang memakai badju kebaja, saja djadi punya alasan membagi ilmu mendjahit dan seluk-beluk kebaja pada banjak orang jang saja djumpai.

Sebagai perempuan jang lahir dan besar di Djawa, saja sering kali mendengar tentang pemahaman masjarakat jang mengaitkan kebaja dengan Djawa. Masih banjak persepsi bahwa pemakaian kebaja hanja oleh orang Djawa. Padahal faktanja tidak demikian, ndhuk. Kebaja tidak hanja Djawa. Padahal kebaja memiliki berbagai asal mula dan berbagai djenis macamnja jang tidak hanja ditemukan di Djawa namun djuga diluar Djawa. 

(map about Kebaya in Indonesia)

Dari zaman sebelum merdeka hingga sudah mampu merebut kedaulatan, Indonesia sudah didatangi berbagai bangsa luar negeri untuk bermatjam alasan, dari penjebaran agama sampai tudjuan perdagangan. Penjebaran ini mentjakup juga penjebaran pengaruh yang berbeda ditiap daerah, termasuk pengaruh dalam hal badju atau busana. Sebagai Negara kepulauan, tiap-tiap daerah di Indonesia didatangi oleh bangsa-bangsa luar jang berbeda-beda, mempengaruhi adanja bermatjam djenis kebaja jang bisa ditemukan di tiap daerah Nusantara. Perbedaan inilah jang mempengaruhi perbedaan sumber dan sedjarah akan asal mulanja keberadaan kebaja di Indonesia. 

Bahwa kebaja bukan hanya milik suku Djawa, tetapi tersebar diseluruh pendjuru Nusantara dengan sedjarah dan djenisnya jang beraneka rupa.

Berbitjara tentang kekentalan budaja jang ingin saja lihat untuk terus dipupuk di kalangan masjarakat, maka ketjemasan saja tidak akan sebesar ini djika kekentalan budaja kita seberpengaruh Bali. Dalam setiap kegiatan upatjara di Bali, kaum perempuan kerap mengenakan badju kebaja. Saja pernah berkundjung ke rumah kerabat bersama suami saja dan menginap selama sepekan. Dalam sepekan itu ada beberapa upatjara adat jang mengharuskan kami untuk menghormati dan mentjari djalan lain karena djalan jang ditutup, tingginja intensitas upatjara adat di Bali membuat daerah ini bisa sadja dinobatkan mendjadi pemilik dan pemakai kebaja jang lebih banjak dibandingkan daerah lain di Indonesia. Saja sempat memperhatikan djuga, para perempuan jang memakai badju kebaja dengan kain transparan (brokat) didominasi warna putih dan kuning dengan selendang jang mereka ikatkan pada bagian pinggang. 
On the page about Kebaya in Java:

Sebagai djembatan penjebrang antara samudera Hindia dan samudera Pasifik, kebudajaan Indonesia menggambarkan banjak pengaruh dari kedatangan bangsa kolonial selain Belanda jakni Portugis, Spanjol, dan Inggris. Saat Portugis datang untuk mengambil alih kontrol rempah di Indonesia, sudah banyak wanita Djawa yang telah memakai kebaja sebagai atasan mereka. Hal ini salah satunja didasari dengan letak dan fungsi Djawa jang mendjadi pusat kepulauan Indonesia.

Kakek saja djuga bertjerita tentang gigihnja perdjuangan pendahulunja sedjak kedatangan bangsa Belanda di Djawa jang bertudjuan untuk menanam imperialisme dan kolonialisme. Pada tahun 1749, adanja bangsa Belanda membuat keradjaan Mataram menguasai pulau Djawa yang membuat Djawa terpecah. Peristiwa ini membawa peperangan jang membuat terpisahnja dua daerah Keraton di Djawa, jakni Solo dan Jogjakarta.

Terpisahnja dua daerah membentuk dua Keratonan di Kota Solo, jaitu Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegara. Kedua Keraton ini memiliki kesamaan pada desain kebaja yang mereka pertahankan dari waktu ke waktu.

Sebelum diharuskan pindah, saja sering mendjahit badju-badju formal untuk keluarga Bangsawan di tiap perdjamuan mereka. Badju jang saja djahit mengikuti adat setempat, berupa V neckline, berhiasan pasmen emas, berlengan pandjang, pandjang selutut atau melebihi lutut mengikuti norma kesopanan jang kami djaga, dari kain beludru, berwarna hitam, merah tua, biru tua, dan hidjau tua.

Saja djuga mendjahit kebaja untuk acara tidak formal, karena keluarga didaerah Keratonan ini sangat mendjaga budadja jang mendjadi alasan saja pertjaja dan bertahan. Serpihan harapan bahwa akan ada keluarga jang memiliki pemikiran sama dengan saja untuk mendjaga kelestarian budaja busana nasional kita.

Upaja saja untuk mendjaga kebiasaan mengenakan kebaja ini saja tularkan djuga pada adik perempuan saja. Ini kedjadian belum lama, saja jang sudah bertransmigrasi ke Padang memiliki kesempatan mengundjungi keluarga di Surakarta (ibu saja sudah sepuh, dan adik saja sudah hampir menikah, saja perlu hadir disampingnja barang beberapa hari). Saat itu masa kedjajaan bioskop baru saja mulai masuk ke Solo, adik perempuan saja menghadiahi saja tiket untuk nonton lajar lebar itu.

Malangnja saja! Suami saja berhalangan hadir untuk menemani saja menonton, djadilah saja ditemani adik perempuan saja, hitung-hitung menghabiskan waktu bersama sebelum adik saja resmi menikah. Sore itu kami memilih kebaja jang biasa dikenakan sehari-hari diluar perdjamuan resmi. Kebaja tidak formal jang Solo memiliki desain square neckline, berlengan lurus sepergelangan tangan, dengan bentuk bawah lurus pandjang sepinggul, dari kain paris, bunga batu, sifon, katun, brokat, satin, sutra jang beragam hias polos atau berbunga, berwarna warni. Kebaja ini umumnja dikenal dengan nama kebaja kutu baru atau putu baru jang merupakan kebaja tjiri khas Solo. Saja mengenakan kebaja sutra jang polos sedang adik saja mengenakan kebaja dari kain brokat motif bunga jang berwarna tjerah.
Creative Writing for an Introduction Book about Kebaya
Published:

Owner

Creative Writing for an Introduction Book about Kebaya

Published:

Creative Fields